Dekat rumah ada saluran air. Kata Bapak, dulunya ini bagian dari irigasi buat mengairi petak-petak sawah di sekitarnya. Tapi sekarang petak-petak sawah sudah berubah jadi perumahan. Tinggallah saluran air itu kini menyendiri. Airnya gelap mengalir lambat diantara tumpukan sampah. Pemandangan yang agak menyegarkan hanya sekelompok eceng gondok, menghijau di tengah kelamnya aliran air.
Kusapukan lagi pandanganku pada kumpulan eceng gondok itu. Aku ingat, Bapak pernah bilang, dulu ada yang mencoba membuat biogas dari eceng gondok. Namun entah kenapa aku merasa tidak pernah mendengarnya. Mungkin aku yang gaptek atau kudet. Atau mungkin dulu proyek itu ada sebagai komoditi politik, konsumsi media sesaat seperti yang sekarang banyak terjadi, buah dari prinsip pencitraan.
Seorang guruku pernah mengatakan bahwa apa pun yang kita lihat, jika kita perhatikan akan membawakan pemahaman tentang siapa diri kita. Meski sudah sering beliau memberi contoh, bagiku rasanya mustahil menemukan diriku diantara pemandangan eceng gondok ini.
Apa pun itu, tidak ada yang memaksa aku untuk mencari tahu lebih jauh. Aku pun tak ingin. Karena sebenarnya yang lebih kuinginkan adalah mengetahui diriku sendiri. Aku. Bukan Eceng Gondok.
Namun sampai beberapa saat, aku tak juga mampu mengalihkan pandangan dan pikiranku dari kumpulan tanaman itu.
Aku masih memperhatikan, aliran air yang mengalun pelan, membuat eceng gondong itu sesekali bergerak. Iramanya tidak teratur. Aku tahu, aku sudah mengalaminya, bahwa sukar sekali menyesuaikan diri dengan irama yang tidak teratur. Bergerak sesuai tuntutan dan tuntunan aliran air. Bukan atas kehendak dan rencana sendiri. Namun nyatanya eceng gondok itu masih eksis. Tidak terhanyut sampai ke ujung muara.
Aku merasa sepertinya Eceng Gondok itu sedang tersenyum sinis padaku. Aku yang punya dua kaki. Bisa berdiri tegar di pinggir saluran air memandang rendah kepada gerombolan hijau di tengah air yang menghitam. Mengecam seolah tak ada pelajaran yang bisa dia berikan.
Dan senyum sinis itu serasa melebar menjadi seringai cemooh, saat dia dan aku menyadari bahwa kakiku tidaklah sekokoh apa yang terlihat. Dia seolah menyinyiri kisah hidupku yang tak pernah berdiri tegar di sisi kebenaran. Tak punya keberanian untuk menetapkan pilihan di atas suara hati. Selalu cari aman, nyaman mengikuti pendapat orang lain, meski itu berarti mengkhianati nuraniku.
Air mataku mulai menetes. Karena dia benar. Pandangannya tentang aku seluruhnya benar. Dan dia berhak sinis terhadapku. Mengingat ketegarannya itu. Kakiku serasa lemah. Aku berjongkok di tepi. Merasakan diri ini hanya sehitam air parit yang
mengalir. Tak ada nilai lebih. Karena sejarah kehidupanku kotor. Sejak dari hulu. Kotor dan hitam.
Aku tak mengerti bagaimana eceng gondok itu tahu bahwa aku terlahir dalam keluarga yang berantakan. Bapak yang pemarah, penjudi, tukang main perempuan. Ibu yang terlihat tegar tapi tak pernah lalai menyinyiri tetangga. Lalu aku.
Aku hidup dari pekerjaan kotor. Berteman dengan orang-orang seprofesi. Namun kami tak pernah merasa diri kotor. Setidaknya, itulah aku sampai beberapa saat lalu.
Aku sadari bahwa eceng gondok yang hidup di air kotor itu sedang mengajariku untuk jujur menilai diri. Ya. Aku mungkin bisa. Jujur kepada diri sendiri tentang segala kekurangan dan kekotoran diri. Tapi aku tak tahu apa lagi setelah itu.
Aku mendekat ke tepi saluran. Ingin mencari jawab dari eceng gondok itu. Tentang bagaimana dia, dan aku, seharusnya menyikapi air kotor kehidupan ini. Tentang apa yang bisa dilakukan diantara gelombang hitam. Tentang kemana aku harus melangkah, mencari pembersih diri.
Aku dekatkan wajah, telinga, pikiran dan perasaanku ke arahnya. Aku ingin mendengar dan mengerti lebih banyak lagi, tentang apa yang ingin dia sampaikan padaku. Aku tutup mataku, barangkali dia mau mulai bercerita.
Aku rasakan gelap. Kelam menyelubungiku. Kotor dan bau. Seolah seluruh kisah hidupku kembali dalam bentuk cairan gelap pekat membungkusku. Aku terhanyut dalam kelam yang makin dalam. Gelap yang tak berkesudahan.
Tengah Bumi, 1 Agustus 2017
Nur’aini Amalia Az Zahra
Salam Takzim untuk Guruku Abi Ihsan:
Guru benar. Asalku dari lumpur tapi aku tak harus jadi lumpur.
Terima kasih, Guru!