Rembang Petang

REMBANG PETANG

(Neng Nur’aini)

Sinar mentari mulai meredup. Aku duduk di beranda memandangi cahaya lembayung itu. Serasa sudah lama sekali sejak terakhir aku duduk di sini.

Aku teringat berbulan-bulan lalu aku juga terduduk di sini dalam sedih yang menyengat. Padahal sejak malam sebelumnya aku merasa seolah dunia sedang tersenyum manis.

Kata-kata Bapak sore itu terasa terngiang kembali, “Dia tidak pantas untukmu, Neng. Dia terlalu tua.” Aku cuma bisa menjerit dalam hati. Tak ada kata yang keluar dari lisanku. Hanya derai air mataku yang kuharap bisa memberitakan pada Bapak. “Bukan itu yang kulihat, Pak. Aku hanya melihat bahwa pria itu matang dan bijak. Dan aku menaruh percaya yang sungguh bahwa dia bisa menjadi imam yang baik.”.

Mengingat itu, rasa perih di hatiku kembali menerpa. Setelah sekian lama kukubur dalam kesibukan jam kerja yang panjang, ternyata luka itu masih ada.

Rasa perih bertambah pedih sore ini. Luka yang tersiram cuka. Sesaat tadi Mama memberitakan, seorang lelaki santun datang memintaku. Namun Mama menolak. “Dia tak akan mampu membahagiakanmu, Neng. Dia terlalu miskin. Tanpa kerja yang jelas”.

Seiring mentari yang mulai jatuh ke peraduannya, air mataku menderas. Mama tidak bertanya padaku. Padahal, jika saja beliau bertanya, aku mungkin akan berani mengatakan, “Bukan itu yang kulihat, Ma. Aku hanya melihat pria baik hati dengan semangat berkarya dan kesadaran untuk bertanggung jawab. Itu sudah cukup buatku.”

Tapi Mama tak bertanya dan aku hanya mampu mengumbar kata dalam hati…

Kulihat sinar mentari makin memerah. Kurasakan hangatnya tersamar semilir angin sore yang mendingin. Kalau kuingat betapa siang tadi, teramat garang sinar mentari memanggang bumi, aku seperti merasa tidak dapat membayangkan kelembutannya sore ini.

Dan aku tak tahu mengapa aku masih terpaku di sini.

Kututup mata dan kucoba bertanya, “Yaa Allah, apa yang telah Kautetapkan untukku? Di balik segala berat rasa dan perih pedih jiwa, hal terbaik apa yang ada untukku?”

Kubuka mataku perlahan. Sinar itu tidak lagi menyilaukan. Perjalanannya hari ini akan berakhir. Hatiku bertanya pula padanya, “Wahai Mentari, jika perjalananmu hari ini berakhir, bagaimana kau bisa menerimanya? Ajari aku, karena aku tidak bisa menerimanya”.

Detik demi detik berlalu. Tiada jawab, hanya gelap yang makin pekat.

Aku masih duduk termenung. Sayup kudengar Azan bergema.

Diam dalam kelam di rembang petang sesaat ini, membawa kilas-kilas pikiranku seperti kilat. Rasa sakit, pedih, perih. Rasa panas air mata. Rasa panas yang lain. Matahari yang membakar. Dan seketika hanya ada kelam di sekeliling dan dingin yang mulai menyelimuti.

Aku mencoba memahaminya. Matahari yang gagah. Raja siang yang perkasa. Tunduk patuh pada aturan. Saat ini dia turun tahta. Membiarkan gelap berkuasa. Tanpa perlawanan. Tanpa tentangan. Tanpa sesal.

Dan aku. Bukan apa-apa. Bukan siapa-siapa. Tak punya sesuatu untuk dibanggakan. Tapi aku masih merasa sakit, pedih, perih. Jika benar ini kehendakNya, aku bisa apa? Jika ini adalah aturanNya, aku mau apa? Jika ini rencanaNya, aku tahu apa?

Sesaat aku merasa ada sedikit celah dalam dada. Membiarkan udara sedikit mengalir. Mengurangi sesak batin ini. Pikirku, mungkin ini bagian dari benang-benang kehidupanku yang sedang dirajutNya. Tak nampak pola indah dalam pandangan mataku, namun apa benar tidak ada?

Jika benar, tentunya aku yang salah menerima. Salah merasa.

Rabb. Hamba mohon petunjukMu.

Kuberanjak bangkit. Dengan sedikit kesadaran bahwa mungkin sekarang masih bagianku untuk menunggu. Sebelum sampai takdir jodohku yang masih disimpanNya. Erat dalam genggamanNya.

Aku akan terus mencoba belajar. Setia dalam penantian.

-o0o-

Bumi Allah, Awal April 2017

Doakan aku selalu….